top of page

SOLID GOLD | Kisah Korban Letusan Gunung Agung 1963 yang Hijrah ke Kalimantan

  • Writer: ptsolidgoldmks
    ptsolidgoldmks
  • Dec 4, 2017
  • 2 min read

SOLID GOLD MAKASSAR - DI KABUPATEN Kayong Utara, Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Sukadana terdapat sebuah desa yang mayoritas orang Bali. Masyarakat Kayong Utara yang mayoritasnya Melayu menyebutnya Kampung Bali.


Meski nama sebenarnya Desa Sedahan Jaya. Kini di Sedahan Jaya dipadati lebih dari 125 Kepala Keluarga (KK). Banyak proses yang dilewati warga Bali untuk berkembang dan bertahan hidup di Kayong Utara.


Warga Bali ini mulai menetap Kayong Utara (sebelum pemekaran) sejak tahun 1965. Kala itu dua tahun sebelumnya terjadi letusan Gunung Agung. Mereka yang menjadi korban memilih untuk mengungsi ke Sumatera dan Kalimantan.


Ada 38 KK korban letusan itu yang ke Kalimantan kala itu. Sesampainya di Pontianak, mereka kembali berlayar ke Kayong Utara yang saat itu masih bergabung dengan Kabupaten Ketapang.


Mereka yang nekat mengungsi demi bertahan hidup ini, dengan biaya seadanya dari kantong pribadi. Pemerintah Bali saat itupun belum dapat memberi bantuan maksimal. Mereka mencoba untuk hidup mandiri.


“Kami pada umumnya petani. Maka kami mencari tempat dan lahan untuk mengungsi yang bisa untuk becocok tanam. Di Kayong ini sangat cocok untuk bercocok tanam. Kami belajar mandiri tanpa diakomodir pemerintah. Apalagi pada saat itu masih ganasnya G30S PKI,” kata Ketut Sukawan, Liang Banjar Adat atau kerap disebut Temenggung Adat usai menyajikan tarian khas Bali kepada sejumlah wartawan, beberapa waktu lalu.


Modal yang dipakai saat itu untuk bertahan hidup dan membeli lahan dengan cara bertukar atau barter barang yang dimiliki, dengan penduduk lokal.


“Sejak itulah kami mulai membangun pondok. Sedikit demi sedikit kami juga membangun pura. Hingga sampai saat ini kami berjumlah 100 KK lebihi. Kami datang dari Bali tanpa bawa apa-apa,” ujarnya.


Di Sedahan Jaya, dikatakan Ketut Sukawan, mereka beribadat di Pura yang berhasil mereka bangun dengan jeri payah gotong royong mereka. Pura Giriamerthabuwana pun terbangun pada 1977.


Meski datang dalam kehidupan yang beragam suku, adat budaya dan agama, warga Bali di Sedahan Jaya ini terus mempertahankan budayanya. Mereka tidak bisa dipisahkan dari seni budaya adat Bali.


“Warga asli di sini menerima kami. Dan kami terus mempertahankan adat budaya kami. Misal, setiap April, kami lakukan perayaan hari jadi Pura dengan tari-tarian Bali. Nyepi pun sudah kewajiban bagi kami,” katanya.


Untuk mempertahankan budaya itu, tentu warga Bali membutuhkan sarana dan pelatih. Karena pemerintah Kayong peduli sesama, maka dihadirkanlah pelatih tari dari Bali untuk tetap melestarikan budayanya.


“Alat-alat gamelan untuk tradisi tarian kami dibantu sama Pak Oso (Ketua DPD RI). Selama menjabat hingga di periode kedua ini, Pak Bupati Kayong Hildi Hamid sering mengunjung Kampung Bali, juga memberikan bantuan,” ucapnya.


BACA JUGA : SOLID GOLD


Recent Posts

See All
IHSG Diperkirakan Cenderung Mixed

Riset harian FAC Sekuritas menyebutkan, pada perdagangan kemarin (25/9), IHSG ditutup melemah 18,46 poin (- 0,26%) ke level 6.998,38....

 
 
 

Comments


Also Featured In

    Like what you read? Donate now and help me provide fresh news and analysis for my readers   

Donate with PayPal

© 2023 by "This Just In". Proudly created with Wix.com

bottom of page